Jumat, 24 April 2009

Cerita Dari Borneo - Aggrek Hitam Untuk Domia

Dongeng Kalimantan-diceritakan oleh: R. Masri Sareb Putra

(Bobo No. 10/XXVIII)



Gong
dari rumah panjang menggelagar bertalu-talu. Penduduk kampung
Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, berarti ada keadaan
genting. Merekapun bergegas mendatangi rumah itu.
Rupanya,
seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun bayinya
tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua
kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan ia berdoa dan bernazar,
"Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!"

Jubata
adalah dewa tertinggi suku Dayak. Jubata adalah perantara antara
manusia dan Tuhan. Darahitam yakin Jubata akan menolongnya. Dan…

"Hoa, hoa, hoa …" suara tangis bayi memecah keheningan.

Seluruh
penduduk desa menyambut gembira. "Ia lahir dengan selamat! Bayi yang
cantik! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya
lentik," seru para wanita.

Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, Domia berarti dewi.

Seperti
ramalan banyak orang, Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria
yang melamarnya. Namun Domia menolaknya. Sebab ia terikat nazar ibunya
pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan, atau imam wanita.
Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun bisa membatalkan
nazarnya. Kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya.

Meskipun
demikian, Domia jatuh cinta pada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda
itupun mencintai Domia. Namun Ikot Rinding heran. Karena Domia tak mau
menikah dengannya.

Suatu
hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Namun, karena tak ada
seekor ikanpun yang didapatnya, ia lalu pergi ke hulu sungai. Di tengah
jalan, Ikot Rinding terhenti! Ia melihat Domia sedang mencuci pakaian.
Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.

"Domia, mengapa kau tak mau menjadi istriku?" tanya Ikot Rinding.

Mendengar
pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis cantik itu akhirnya berterus
terang. Ia bercerita tentang nazar ibunya pada Jubata ketika
melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot Rinding mendengar cerita itu. Ia
tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan oleh Jubata sendiri.
Tapi… kemana ia harus mencari Jubata?
Karena
cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Siang berganti malam.
Malam menjelang pagi. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di
Bukit Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah
pohon rindang. Begitu bangun, hari sudah pagi. Berarti ini hari ketujuh
pengembaraanya mencari Jubata.

Ketika
akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit
tergeletak di tanah. Di hutan belantara tak berpenghuni ini ada sumpit?
Dari mana asalnya? Ikot Rinding segera memungutnya. Di hutan belantara
seperti ini, sumpit tentu sangat berguna, pikirnya.
Ikot
Rinding meneruskan pengembaraanya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia
tiba-tiba teringat pada nasihat ibunya. Ketika masih kecil, saat
menemani ibunya menyikat pakaian di atas batu, ibunya selalu berkata,
"Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin!"

Seketika
Ikot Rinding berbalik, meletakkan sumpit itu ke tempat semula. Sumpit
itu bukan miliknya. Mungkin milik pemburu yang lewat di daerah itu.
Maka
Ikot Rinding pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya
lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Tapi begitu ingat akan Domia, ia
menjadi bersemangat kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara desisan.
Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia berhenti di depan Ikot
Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang. Badannya yang tadi
melingkar, ditegakkan.
Ikot
Rinding sadar ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting.
Diputar-putarnya ranting itu. Lalu dengan cepat tangan kirinya
menyambar leher si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak
tipunya. Dilemparnya ular tedung itu jauh ke tepi jurang.

Usai
pertistiwa itu, terdengarlah langkah kaki. Rupanya ada orang yang
menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot
Rinding curiga. Namun wajah pemuda itu tampak ramah.
"Aku
Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini," ujarnya. Salampandai
bercerita, sudah dua hari ia berburu. Namun tak berhasil menangkap
apapun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa
ayahnya menyuruhnya rajin berlatih menyumpit. Terutama menyumpit
binatang liar yang bergerak cepat.
Sekarang
Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia
mengajak Salampandai ke tempat sumpit itu. Benda itu masih ada di sana.

Karena
gembira, Salampandai mengundang Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia
ingin mengenalkan sahabat barunya kepada keluarganya. Bahkan, ia pun
ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkat. Walau ia sudah mempunyai
enam orang kakak.
Sejak
itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sangat
menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salampandai dan Ikot
Rinding-pun selalu bersama kemanapun mereka pergi.

Suatu
hari, "Jaga Si Bungsu baik-baik," pesan Raja pada Ikot Rinding dan
keenam putranya saat mereka akan pergi berburu. Ikot Rinding
mengangguk. Tapi enam saudara kandung Salampandai tak menjawab. Mereka
tidak menyukai Ikot Rinding. Mereka merasa Ratu dan Raja hanya
memperhatikan Si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat rencana
mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau Si Bungsu.
Setibanya
di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai mendapat tempat yang agak
mendaki. Dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak
Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun ketika keenam orang
itu sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia
tahu, keenam orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang
berbahaya.

"Berhenti! Jangan lewat gua itu!" teriak Ikot Rinding pada Si Bungsu.

Ikot
Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar
hewan-hewan itu sangat tajam. "Salampandai, tiarap!" teriak Ikot
Rinding saat melihat gumpalan-gumpalan hitam keluar dari mulut gua.
Tetapi terlambat. Si Bungsu kini dalam kepungan kelelawar.
Dengan
tangkas, Ikot Rinding mencabut mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu
persatu binatang gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar
yang bertubuh besar. Kali ini Ikot Rinding menggunakan sumpitnya.
"FUUHH!" Hanya dengan sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si
Bungsu pun selamat.

Keduanya
lalu pulang. Salampandai menceritakan peristiwa itu pada ayahnya. Raja
sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. Ia sangat
bahagia karena putra kesayangannya selamat.

"Mintalah apa saja yang kau inginkan," ujarnya pada Ikot Rinding. "Hari ini juga akan segera kupenuhi."

Pada
saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata adalah
Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikan Ikot Rinding. Meski agak
ragu, Ikot Rinding pun berkata,
"Aku memohon bukan untuk diriku. Untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia, dari nazar ibunya, Darahitam."

Jubata
ingat. Tujuh belas tahun lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan
bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar. Dan kini Ikot Rinding
meminta agar nazar itu dilepaskan. Jubata yang bijaksana mengerti.
Berbuat baik jauh lebih penting daripada memegang teguh sebuah sumpah.
"Permohonanmu kukabulkan," ujarnya.

"Apakah tandanya?" tanya Ikot Rinding.

Melihat
keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu keluar,
tangannya memegang setangkai anggrek hitam. Yang hanya tumbuh di
halaman istana Jubata.

"Inilah
tandanya," sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya pada Ikot
Rinding. "Begitu Domia menerima sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini
segera berubah warna. Itulah pertanda. Bahwa nazar ibunya telah
kulepaskan."

Usai
menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana.
Ia telah sangat rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa
rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia di kampung Tebelianmangkang.
Anggrek
hitam ia serahkan pada Domia. "Pejamkan matamu…" pinta Ikot Rinding.
Tanpa banyak bertanya, Domia menurut. "Nazar ibumu akan dilepaskan
Jubata. Sebagai tanda, anggrek hitam di genggamanmu akan berubah
warna."

Ketika
membuka kelopak matanya kembali, Domia melihat anggrek hitam telah
berubah warna. Jadi butih bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan.
Domia telah terlepas dari nazar.
Sepasang kekasih itu tak hentinya mengucap syukur pada Jubata. Dan keduanya hidup bahagia sampai masa tua mereka.



Mundur satu
halaman !

Mundur

Diambil dari Majalah Teman Bermain dan Belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar