Jumat, 24 April 2009

Bahasa Melayu Kalbar

PETA BAHASA MELAYU KALBAR

Oleh Yusriadi

Pendahuluan

Meskipun deskripsi mengenai
bahasa Melayu di Kalimantan Barat sudah dilakukan sejak berabad-abad
lalu, namun informasi yang diberikan masih bercelaru. Belum ada
kesesuaian antara informasi yang berkembang di tingkat lokal, di
kalangan masyarakat awam dan informasi yang beredar di luar, khususnya
di kalangan akademisi.

Orang yang
tertarik melibatkan diri dalam diskusi mengenai bahasa di Kalimantan
Barat, menjadi bingung. Dan akhirnya ketidakselarasan ini dipahami
sendiri. Celakanya, kebingungan ini justru ditularkan dan menjadi wabah
endemik di kalangan dunia akademik.

Tulisan yang singkat dan
sederhana ini mencoba menampilkan dua hal tersebut. Mencoba memaparkan
pengetahuan masyarakat mengenai bahasanya dan menyoroti informasi yang
berkembang di kalangan akademik (dunia luar juga) –khususnya pada
usaha-usaha pemetaan bahasa serta identifikasi etnik.

Bahasa Melayu di Kalbar dalam Perspektif Lokal

Kepelbagaian
varian Melayu di Kalimantan Barat, telah lama disedari. Orang
Kalimantan Barat sendiri tahu bahawa hampir setiap bandar kabupaten ,
memiliki ragam bahasa Melayu yang berbeza antara satu dengan yang lain.
Ada ciri-ciri pembeza yang dengan mudah dikesani ketika mula berjumpa
dengan seseorang. Sehingga ketika seseorang berkomunikasi, orang yang
lain dengan serta merta bisa mengidentifikasi daerah asalnya.

Memang
ada beberapa kategori yang bisa diberikan sebagai penanda. Pertama,
menyangkut perbezaan kosa kata (leksikal), dan arti kata (semantik).
Penduduk menyadari, hubungan bahasanya dengan bahasa orang lain, adalah
cukup jauh. Yang terkadang mereka tidak memahami dengan baik, apabila
tidak pernah punya pengalaman berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
orang lain itu. Pada katagori ini, ada varian Sambas, Pontianak,
Ketapang, Sanggau, Ulu Kapuas, Melawi .

Kedua, menyangkut
perbezaan logat (fonologis dan suprasegmental). Penduduk menyadari
perbedaan variasi antar mereka tidak begitu jauh, dan mereka dapat
memahami semuanya dengan baik. Pengalaman di lapangan menunjukkan
bahawa penutur menyebut varian mereka sebagai varian yang sederhana dan
mudah, sedangkan varian orang lain sebagai varian yang dalam,
mengalun-alun, dilagu-lagukan. Mereka dapat meniru varian lain,
sekalipun kesannya agak berlebihan, mereka dapat mengerti varian yang
digunakan penutur lain dengan baiknya. Setiap kampung hampir bisa
dibezakan dengan kampung yang lain; terutama di daerah-daerah
pedalaman.

Catatan lapangan penelitian SEASREP di Sekadau
misalnya, dengan jelas menunjukkan begitu banyaknya varian Melayu lokal
yang bisa diidentifikasi dengan mudah oleh masyarakat sekitarnya.
Misalnya penduduk Sekadau Kota dengan mudah mengidentifikasi penutur
Melayu asal Cupang Gading, atau penutur bahasa Melayu asal Teluk Kebau.
Di Sungai Laur, penduduk Sandai dengan mudah mengetahui penutur asal
Cali, asal Jago, atau penutur asal Semapau Kuala.

Begitu juga
dengan kondisi yang dijumpai ketika peneliti di Putussibau. mendengar
orang berkomunikasi dengan sesama menggunakan varian Ulu Kapuas, dengan
mudah orang tahu penutur tersebut berasal dari kawasan Selimbau dan
sekitar, Bunut dan sekitarnya, Embau dan sekitarnya, Boyan dan
sekitarnya, atau Putussibau dan sekitarnya.

Sebagai bandingan,
peneliti Institut Dayakologi, Sujarni Aloy dan kawan-kawannya (Sujarni
Aloi, dkk 1997), pernah melakukan pengumpulan data di tiga kabupaten di
Kalbar; Kabupaten Pontianak, Ketapang dan Sintang, tahun 1997. Sesuai
dengan misi ID, penelitian ini hanya memberikan gambaran keberadaan
bahasa-bahasa yang dituturkan sub suku Dayak di tiga kabupaten tersebut
berdasarkan epistimologi tradisional –berdasarkan penamaan menurut
pengetahuan masyararakat tempatan.

Hasilnya sungguh sangat
mengejutkan. Ada 50 bahasa di Ketapang, yaitu : bahasa Dayak Kualatn,
Bahasa Mali, Bahasa Kancikng, Bahasa Cempede’, Bahasa Semanakng, Bahasa
Sajan, Bahasa Banjur, Bahasa Gerai, Bahasa Baya, Bahasa Laur, Bahasa
Joka’, Bahasa Domit, Bahasa Pawatn, Bahasa Krio, Bahasa Konyeh, Bahasa
Biak, Bahasa Beginci, Bahasa Tumbang Pauh, Bahasa Gerunggang, Bahasa
Kayong, Bahasa Majau, Bahasa Pangkalan Suka, Bahasa Kebuai, Bahasa
Tola’, Bahasa Marau, Bahasa Batu Tajam, Bahasa Kengkubang, Bahasa
Pesaguan Hulu, Bahasa Kendawangan, Bahasa Pesaguan Kanan, Bahasa
Kekura’, Bahasa Lemandau, Bahasa Tanjung, Bahasa Benatuq, Bahasa
Sumanjawat, Bahasa Tembiruhan, Bahasa Penyarangan, Bahasa Parangkunyit,
Bahasa Perigiq, Bahasa Riam, Bahasa Belaban, Bahasa Batu Payung, Bahasa
Pelanjau, Bahasa Membuluq, Bahasa Dayak Menggaling, Bahasa Air Upas,
Bahasa Sekakai, Bahasa Air Durian, Bahasa Sempadian.

Selain itu, Sujarni Aloi, dkk memberitahukan bahwa di Sintang ada 33 bahasa, dan di Kabupaten Pontianak ada 69 bahasa.

Jika
perspektif ini juga dipakai untuk mengambil informasi mengenai bahasa
Melayu di seluruh Kalimantan Barat, maka bisa jadi ada puluhan, bahkan
mungkin ratusan nama varian yang dituturkan orang Melayu di Kalimantan
Barat. Di Kapuas Hulu saja, orang bisa membezakan antara penutur Melayu
di Riam Panjang, Sukaramai, Nanga Semelangit, Mawan, Menendang, Nanga
Temenang, Nanga Letuh, Pengaki, Selimbau, Semitau, Putussibau, Nanga
Semangut, dan lain sebagainya. Hitung lagi varian Melayu di Pontianak,
di Sungai Laur, Sungai Sekadau, Sungai Sambas, dan sungai-sungai utama
di Kalbar lainnya.

Bahasa Melayu Kalbar dalam Perspektif Luar

Sekalipun
Kalimantan Barat cukup istimewa dalam pentas akademik sejak dinobatkan
sebagai tanah asal usul bahasa Melayu, pengetahuan dunia luar mengenai
keadaan bahasa Melayu di Kalimantan Barat masih masih kurang. Padahal,
penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa utama sudah disinggung tiga
ratus tahun lalu. Thomas Bowrey menerbitkan peta nusantara (Bowrey,
1701) yang dilampirkan bersama Kamus Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu,
menyenaraikan tempat-tempat bahasa Melayu dituturkan, termasuk kawasan
pantai Pulau Borneo Bahagian Barat (Kalimantan Barat).

Pada
tahun 1984 terbit sebuah peta persebaran bahasa (termasuk bahasa Melayu
di Kalimantan Barat) yang diusahakan Wurm dan Hattori (1984). Mereka
memberikan gambaran secara geografis persebaran bahasa yang diberi satu
nama, yakni bahasa Melayu Pantai Barat Bornoe (Western Coastal Malay),
mengelilingi pantai barat dari utara ke selatan, dan kemudian
persebaran itu masuk menyusuri aliran Sungai Kapuas hingga Bunut (Nanga
Bunut atau Kecamatan Bunut?), sepanjang Sungai Melawi hingga Serawai.
Di aliran Sungai Pawan, dari muara hingga Sandai.

Pada tahun
1990, dalam bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo, Collins (Collins
1990) ada kemajuan dengan memasukkan dua nama; yang secara riil dikenal
masyarakat, yakni Melayu Pontianak dan Melayu Sambas. Peta ini
ditampilkan berdasarkan data yang diperoleh di berbagai perpustakaan,
yang dipublikasikan sebelum tahun 1987.

Selebihnya, belum
dijumpai ada peta bahasa yang memberikan gambaran mengenai bahasa
Melayu, sampai hari ini. Collins sendiri dalam surveynya kemudian
menyebutkan tidak kurang dari lima dialek Melayu yang resmi dipakai di
Kalimantan Barat (Collins 1999: 7). Di barat laut, Melayu Sambas
digunakan sepanjang lembah Sungai Sambas. Di sebelah timur Sambas,
sepanjang Sungai Landak, beberapa kampung penutur bahasa Melayu. Di
kampung-kampung itu bahasa Melayu Landak digunakan. Di Kota Pontianak
dan sekitarnya digunakan dialek Melayu Pontianak, dialek yang sangat
dipengaruhi dialek Melayu Riau. Sejauh 80 kilometer ke hulu Sungai
Kapuas dari Pontianak, yakni di Sanggau, Sekadau, Sintang, digunakan
dialek Melayu Ulu Kapuas. Di selatan Kapuas, sepanjang Sungai Pawan
digunakan dialek Melayu Ketapang.

Agak baik disebutkan juga
mengenai gambaran persebaran etnik di kawasan ini. Karena, biasanya
persebaran etnik bisa menjadi petunjuk awal penggunaan bahasa. Ada peta
Nieuwenhuis (1994), peta Tjilik Riwut pada tahun 1954 (Tjilik 1979),
dan peta Sellato (1989) yang menampilkan pelbagai suku di Kalbar.

Kecelaruan dan Masalah yang Muncul

Dari
gambaran persebaran bahasa Melayu di atas orang akan terkesan, karena
begitu banyaknya varian dinamakan, bahkan hampir-hampir, satu kampung
menjadi satu nama bahasa. Sebaliknya nama yang diberikan oleh pihak
luar begitu sederhana dan generalis. Seperti yang diberikan Wurm dan
Hattori (1983:42), untuk kawasan Kalimantan Barat diberi nama ‘western
coastal Malay’. Kedua-duanya meragukan kita. Karena kadang kala
penjelasan yang diberikan tidak cukup untuk memahami nama yang
digunakan, dan alasan kenapa salah satu nama digunakan, tidak nama yang
lain.

Dan akhirnya justru pilihan terakhir diserahkan kepada
masing-masing orang, yang malangnya justru menyesatkan. Simak pandangan
Dobby (1979: 276-278), bahwa bahagian kosong dari distribusi etnik di
peta Kalimantan, lebih mungkin dihuni oleh orang Dayak. Logikanya,
pulau Kalimantan sebagai pulau orang Dayak, tentulah mereka berada di
mana-mana merata kawasan. Ada banyak survey membuktikan bahwa pandangan
ini lebih banyak salahnya daripada benar.

Memang
kecelaruan mungkin bukan disengaja. Pengetahuan dunia luar jelas
didasarkan seberapa banyak informasi yang masuk, dan informasi yang
mereka terima. Kita bisa memahami ketika pemahaman orang luar mengenai
bahasa Melayu di Kalbar tidak tepat. Kita bisa belajar banyak ketika
melihat data yang ditunjukkan Collins (Collins 1990), atau data yang
ditunjukkan Avé, Jan., V. King., dan J. De Wit. (1983), atau Cense,
A.A. dan E.M. Uhlenbeck (1958).

Dalam Bibliografi Dialek
Melayu di Pulau Borneo, kita ditunjukkan pada kenyataan minimnya
publikasi karya akademik mengenai bahasa di Kalimantan Barat yang
beredar di dunia luar. Dengan menghimpun karya akademik dalam bidang
linguistik dan bidang lain yang dapat memberikan data liguistik yang
diterbitkan hingga tahun 1987, di berbagai perpustakaan, terlihat
bahawa data yang memadai mengenai varian Melayu di Kalimantan Barat
hanya ada dua! yakni Sambas (2) dan Pontianak (4). Rupanya data
penelitian dialek Melayu Ketapang, Sanggau, Melayu Ulu, bahkan
Putussibau, tidak dijumpai ketika itu. Karena itu, wajar jika kemudian
dunia luar tidak bisa memahami Kalimantan Barat secara tepat.

Banyak
faktor yang dapat dikaitkan dengan tertinggalnya penelitian bahasa
Melayu (penelitian pada umumnya) di daerah ini. Di antaranya,
sebagaimana ditunjukkan dalam Avé, King dan De Wit (1983), peneroka
alam pedalaman ini dilakukan oleh orang luar yang masih berfokus kepada
penduduk bukan Melayu (Islam). Sedangkan penelitian yang dijalankan
oleh orang lokal sendiri masih berkisar pada Melayu di pantai. (Lihat
juga Collins 2002).

Masalah juga muncul ketika orang-orang lokal
tidak memiliki pengetahuan atau kepakaran yang cukup untuk melakukan
tugas itu. Sebagai catatan, penelitian yang dilakukan di bawah proyek
Pusat Bahasa, dilakukan kalangan internal pimpinan proyek, yang
memiliki disiplin beragam. Mulai dari sastra, hingga pengajaran. Mereka
yang berkelulusan sarjana linguistik apalagi Ph.D Linguistik nyaris
tidak ada –kalaupun tidak ada sama sekali (lihat Yusriadi 1999).

Tambahan
lagi, keadaan alam yang masih belum seberapa terbuka di pedalaman
mendatangkan keengganan peneliti mengunjungi perkampungan-perkampungan
di sana. Sekurang-kurangnya mereka harus memikirkan berbagai cabaran
yang sukar dan menggerunkan.

King (1974: 32) pernah
menggambarkan betapa sukar melakukan kerja ilmiah khususnya di
pedalaman : ‘however, for upriver work, and this usually means in the
tributaries of the main Kapuas, distance and the lack of reliable and
adequate transport can mean a great deal expense, a lot of time wasted,
frequent difficulties in obtaining food supplies, in getting medical
help, mail and other essential goods such as film and stationery.

Aspek
dana juga menjadi kendala utama. Dana penelitian terbatas, akan menjadi
hambatan bagi peneliti untuk mengunjungi tapak-tapak penelitian yang
penting. Karena itu salah satu cara yang mudah hanyalah dengan
mengunjungi satu dua tapak dan kemudian membuat kesimpulan. Dengan cara
ini, peneliti tidak dibebankan pada biaya ojek yang cukup mahal, biaya
carter speedboat dan sampan, atau sewa mobil. Cara ini juga tidak
membebankan peneliti untuk merogoh isi kantong memberikan sagu hati
kepada pendamping lapangan, atau banyak informan.

Sehingga
akhirnya, seperti yang pernah disampaikan pembicara dari Pusat Bahasa
Jakarta pada satu seminar di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
tahun 2001 lalu, karena masalah dana, akhirnya proyek penelitian bahasa
daerah beberapa waktu lalu hanya bisa menjangkau kawasan yang dekat
jalan aspal, dan mudah dijangkau saja .

Setidaknya, itulah hambatan yang pernah disampaikan peneliti dalam usaha melakukan eksplorasi akademik di Kalimantan Barat.

Tentu
saja masalah ini punya implikasi yang luas, karena dengan terbatasnya
kunjungan lapangan, informasi yang diperoleh merupakan informasi tangan
kedua, atau malah ketiga. Informasi pertama dan lengkap yang bisa
diperoleh dalam suasana tabii di kampung-kampung tidak bisa dilakukan.

Padahal,
sudah banyak pengalaman penelitian bahwa pungutan data di hotel bisa
mempengaruhi informan. Begitu juga, pungutan data begini menyebabkan
kita berada pada tiadanya pilihan. Bagaimana kalau ternyata informan
datang ke hotel itu berusaha menyajikan yang menurutnya dianggap baik
belaka, mereka yang punya stigma sendiri mengenai bahasanya dan bahasa
orang lain. Lihat catatan Collins (1999: 16)

‘Di Kalimantan
Barat …., orang tidak hanya memilih menampilkan dirinya kepada orang
lain dengan cara tertentu, mereka juga memilih untuk memperbesar
perbedaannya yang telah ada. Selama pengumpulan data untuk penelitian
ini, selalu bila saya bertanya kepada orang di desa tentang suatu kata
tertentu yang diterima ialah bantahan. ‘Oh, tidak cara berbicara orang
Melayu,’ ‘Kata itu dapat kamu dapatkan di seberang sungai, itu kata
orang Dayak’.

Sudah sering terjadi, pengetahuan informan juga
terbatas. Orang Kalimantan Barat tidak pernah tahu mengenai varian
Cali. Bahkan orang-orang sekitar Cali –seperti Jago atau Sandai yang
jaraknya hanya beberapa puluh kilometer saja misalnya, hanya tahu
tempat itu angker, dan menakutkan, banyak ilmu hitam, banyak pengalaman
mistik yang semuanya membuat berdiri bulu roma. Sedikit informasi, ada
yang mengatakan bahasanya berbeda sedikit, ada yang mengatakan sama
saja dengan bahasa Melayu di Ketapang, dan bahkan ada yang mengatakan
kalau bahasa di sana jauh sekali berbeda dengan bahasa orang
sekitarnya. Jika peneliti hanya menangkap sepintas lalu informasi itu
dan tidak mendatangi Cali, maka pasti bahwa varian Cali yang memiliki
ciri-ciri berbeza dibandingkan dengan varian sekitarnya, dan varian
Melayu lain, tak pernah akan tersingkap.

Apa yang terjadi di
di Sungai Mmayan pada masyarakat Pengaki (sebagian mereka menyebut diri
orang Mmayan, dan sebagian lain menyebut dirinya sebagai orang Melayu)
juga begitu.. Tak banyak yang diketahui mengenai mereka, kecuali mereka
diam di arah selatan Sungai Embau dan agak terisolir, hingga kemudian
peneliti sampai di sana pertengahan tahun ini. Rupanya, ada cukup jauh
perbedaan antar varian mereka dengan varian sekitarnya. Sebagian mereka
mengaku bertutur bahasa Melayu, dan sebagian lain mengaku mereka
bertutur bahasa Mmayan. Sedangkan orang luar memberitahukan mereka
bertutur bahasa Pengaki.

Penelitian Lapangan dan Peta Bahasa Melayu

Memang
sejak penerbitan bibliografi Collins (1990) perkembangan dunia akademik
bahasa Melayu di Kalimantan Barat tidak menunjukkan kemajuan berarti.
Sehingga Collins sendiri menunjukkan keheranannya:

‘Kalimantan
Barat sangat penting untuk mengerti sejarah sosial-budaya dari kawasan
Asia Tenggara. Pertama, sejumlah ahli (Blust 1992, Adelaar 1994,
Collins 1995, Nothofer 1996) telah mengenali bahwa daerah berawa dan
delta Kalimantan Barat seharusnya merupakan daerah asal prasejarah dari
bahasa Melayu…..Kedua, pada masa sejarah awal, Kalimantan Barat
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan regional perdagangan
internasional, beberapa temuan arkeologis gendang gangsa dari Dongson,
manik-manik batu akik dari India, patung Buddha emas Boddhisatvas,
semuanya di lembah sungai Sambas Kalimantan Barat menunjukkan adanya
bentuk pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari
pemerintahan Sriwijaya (Nik Hassan Suhaimi, p.c). … Ketiga, perlu
diperhatikan bahwa banyaknya jumlah kesultanan, kerajaan kecil, daerah
kekuasaan Melayu di Kalimantan Barat melampaui jumlah daerah manapun di
Nusantara. Demikian pula umur dari unit-unit politik beragam mulai dari
zaman purba seperti Sambas sampai yang baru seperti Pontianak’.
(Collins 1999: 1)

Pernyataan Collins berangkat dari kenyataan
bahwa hanya ada beberapa tulisan saja sebelum tahun 1999 itu. Ada
beberapa tulisan Collins mengenai bahasa-bahasa di kawasan ini
(Yusriadi 2002). Tulisan Moh Mar’a (1990), kamus kecil Mawardi (1997)
tentang Melayu Sambas, tesis Yusriadi tentang dialek Melayu Ulu Kapuas
(1999).

Setelah tahun 2000, ada disertasi Jaludin Chuchu yang
menyentuh dialek Sambas (tahun 2001), tesis Firman Susilo mengenai
bahasa di Sungai Melawi (2002). Pada era ini, koleksi data yang
dipungut tim peneliti ATMA, UKM-PKBM Untan cukup memadai. Setelah
anggota Tim (James T. Collins, Chong Shin, Yusriadi dibantu Hadi Kifli,
Derensius dll) menyusuri dua sungai besar yang bersambungan di tengah
pulau, yakni Sungai Sekadau anak Sungai Kapuas yang menganak ke
selatan, dan Sungai Laur anak Sungai Pawan yang menganak ke utara. Ada
banyak koleksi data varian Melayu. Juga perlu disebutkan, selain
beberapa skripsi (latihan ilmiah) mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di
Universitas Tanjungpura.

Namun, Kalimantan Barat pulau yang
luas, dengan kondisi jelajah alam yang payah, dengan keragaman penduduk
yang tinggi, belum diteroka dengan tuntas. Bahkan kalau mau dikatakan,
proyek yang dilaksanakan ATMA-PKBM dengan dana SEASREP itu baru
membangun tapak saja. Banyak lagi sungai yang belum ditelusuri. Sungai
Kapuas, Sungai Pawan, Sungai Melawi baru sebagiannya saja. Sungai
Mempawah, Sungai Sambas, Sungai Sekayam, Sungai Semandang, Sungai
Landak, Sungai Ketungau, Sungai Bunut, belum disentuh.

Sekali
lagi pengetahuan umum saja tidak cukup, begitu juga pengetahuan yang
berkembangan di kalangan (akademisi) luar juga tidak memadai. Jalan
satu-satunya adalah dengan melakukan penelitian di lapangan.

Bila
agenda ini bisa dilakukan segera, maka kita akan bisa menyusun sebuah
gambaran yang baik dan memadai, yang bisa ditunjukkan kepada dunia
luar. Kita bisa meralat informasi yang keliru, dan meluruskan pemahaman
yang bercelaru.

Penutup

Apa yang digambarkan di atas
merupakan contoh nyata kondisi dunia akademik bahasa Melayu di
Kalimantan Barat. Memang ada berbagai faktor yang sudah dinyatakan di
atas, terbatasnya dana, tenaga, dan tantangan alam, sehingga tidak
banyak orang yang dapat melakukan eksplorasi ke semua tempat, khususnya
ke daerah pedalaman.

Oleh sebab itulah dengan usaha AMANAT
ini, dengan berlandaskan peneliti tempatan yang dipersiapkan untuk itu,
maka kondisi realistis bahasa di pedalaman Kalimantan Barat diharapkan
akan terungkai dengan baik. Dan menampilkan sesuatu secara lebih
meyakinkan. Usaha ini di kemudian hari akan membantu orang memahami
Kalimantan Barat khususnya, dan dunia Melayu secara umum secara lebih
tepat. Jelasnya, kita tidak perlu lagi terangguk-angguk ketika
diberitahu, di pulau Kalimantan orang Melayu adalah pendatang yang
berdiam di pantai, yang menggunakan satu varian Melayu.

Bibliografi

Avé, Jan., V. King., dan J. De Wit. 1983. West Borneo, a bibliography. Dordrecht: Foris Publications.
Azharie
Arief, Endang Susilowati, Mochtar Umar dan Y. Trimantono G.H.1989.
Morfologi dan sintaksis bahasa Melayu Sanggau. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Bowrey, T. 1701. A dictionary , English
and Malayo, Malayo and English, to which is added some short grammar
rules & directions for the better observation of the propriety and
elegancy of this language. London: Sam Bridge.
Cense, A.A. dan E.M. Uhlenbeck.1958. Critical survey of studies on the languages of Borneo. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Collins, J. T. 1995. Kalimantan sebagai titik tolak pengkajian bahasa Melayu. Jurnal Dewan Bahasa 39 (10) : 866 - 879.
Collins,
J.T. 1999. Keragaman Bahasa Melayu di Kalimantan Barat. Makalah Seminar
Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, Pontianak, 23 September.
Collins, J. T.1990. Bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Dobby, E. 1982. Asia Tenggara. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Firman
Susilo. 2001. Pemakaian bahasa Melayu di daerah aliran Sungai Melawi
(Kajian Geografi Dialek. Tesis MA, Yogyakarta : Universitas Gajahmada.
Hooker,
V. Matheson. 1991. Tuhfat Al-Nafis: sejarah Melayu-Islam. Terj. Ahmad
Fauzi Basri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jaludin Chuchu. 2001. Disertasi. Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia.
King, Victor. 1993. The peoples of Borneo. Oxford : Blackwell.
Mawardi Rivai. 1997. Kamus bahasa Melayu Sambas. Pontianak: Romeo Grafika Press.
Moh. Mar’a. 1990. Pronomina persona dan pronomina penunjuk dalam dialek Melayu Sambas. Jurnal Dewan Bahasa 34 (8): 598-603.
Nieuwenhuis,
A. 1994. Di pedalaman Borneo, perjalanan dari Pontianak ke Samarinda.
Terj. Theresia Slamet dan P.G. Katoppo. Jakarta : PT. Gramedia.
Sellato, Bernard. 1986. An ethnic sketch of the Melawi area West Kalimantan. Borneo Research Bulletin 18 (1): 46-58.
Sellato, Bernard. 1989. Hornbill and dragon - burung enggang dan naga. Kuala Lumpur: Elf Aquitaine Indonesie - Malaysia.
Stokhof,
WAL. (Ed.). 1986. Holle lists : Vocabularies in languages of Indonesia,
Kalimantan (Borneo). Pacific Linguistics D- 69 (8). Canberra: The
Australian National University.
Sujarni Aloi, dkk. 1999. Keragaman
Bahasa Dayak di Kalimantan Barat Berdasarkan Epistimologi Tradisional.
Makalah Seminar Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, Pontianak,
23 September.
Teeuw, A. 1961. A critical survey of studies on Malay and bahasa Indonesia. ’s- Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Tjilik Riwut. 1979. Kalimantan membangun. Palangkaraya: t.pt.
Wurm,
S.A. dan S. Hattori. 1983. Language atlas of the Pacific area, Part II.
Canberra : Australian Academy of the Humanities in Collaboration with
the Japan Academy.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Yusriadi. 2001. Catatan lapangan penelitian etnik, identitas dan kesatuan di Kalimantan Barat. Naskah.
Yusriadi. 2002. Kalimantan Barat dari Perspektif Bahasa, (Kumpulan Artikel James T Collins. Naskhah.

Suradi
Bohari, dkk. 1985. Struktur Bahasa Melayu Sanggau. Laporan Penelitian :
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan
Barat.
Patriantoro dan Sudarsono. 1997. Geografi Dialek bahasa
Melayu di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Laporan Penelitian.
Pontianak: FKIP Untan.
Patriantoro dan Sudarsono. 1998. Geografi Dialek bahasa Melayu di Kabupaten Sanggau. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Patriantoro. 1998. Geografi Dialek bahasa Melayu di Kabupaten Sintang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Ahadi Sulissusiawan, dkk. 1998. Struktur bahasa Melayu dialek Ketapang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ahadi Sulissusiawan. 1999. Fonologi bahasa Melayu Ketapang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Ahadi Sulissusiawan. 2000. Sintaksis bahasa Melayu Ketapang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Firman Susilo. 1998. Struktur bahasa Melayu Sintang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Firman Susilo. dkk. 1998a. Fonologi bahasa Melayu Sambas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Firman Susilo. 1998b. Morfologi bahasa Melayu Ketapang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar