Selasa, 09 Juni 2009

Perubahan

Selama Matahari masih bersinar, Bintang - bintang tidak kehabisan gasnya untuk tetap bercahaya, dan Bumi masih berputar pada porosnya... Maka semua yang ada masih akan terus berubah, begitu juga Hati Manusia

Mimpi Jadi Presiden

Ehm, setelah 1 bulan akhirnya bisa juga buka blog n mulai mo mikir ne mo nulis apa??

Hmmm, berhubung lagi marak maraknya kampanye Pilpres, ga ada salahnya donk kita ngebahas masalah ini, n ga ada salahnya kalo berandai - andai jadi Capres juga. Huahahahaha...

OK, kita mulai pembahasan....

Kampanye Pilpres udah di mulai nih. Semuanya berusaha mengkampanyekan diri dan kasi slogan - slogan yang diharapkan bisa narik simpati masyarakat Indonesia. Nih contohnya:

1. Mega - Pro selalu nekanin 'Ekonomi Kerakyatan, atau Bikin kontrak politik dengan masyarakat Indonesia (Aduh maaf aku ga tau ni slogan Mega - Pro apa sih?)
2. SBY - Boediono " Lanjutkan" (apa yang di lanjutin? Harusnya lebih jelas ya? biar ga rancu you know what i mean ).
3. JK - Win "Lebih Cepat Lebih Baik" (Apa yang lebih cepat selalu lebih baik?).

Semua Capres dan Cawapres saat ini semuanya pantas kok untuk memimpin Negeri ini, karena ga mungkin menunjuk seseorang untuk jadi Capres - Cawapres kalau mereka ga punya kapasitas untuk itu. Yah siapapun yang kelak akan jadi Pemimpin negeri ini, kita ga butuh hanya janji - janji kampanye. Talk Less Do More, buktiin. Tunjukkan, rakyat udah capek dengan janji - janji tapi ga ada perubahan yang berarti. Pengennya si, kalo nanti ada pergantian pemimpin ga smua program kerja langsung Byar, berubah total. Kan Indonesia latah banget tuh? ganti Pemimpin, ganti kebijakan, ganti program kerja, program kerja sebelumnya yang udah separo jadi biasanya jadi sia - sia. Moga yang nanti mimpin bisa sedikit lebih bijak untuk melihat, program mana si yang layak untuk diterusin mana yang enggak? kan pasti, ga semua program jelek. Ya kan?

Lalu apa si yang paling penting untuk membuat Indonesia bisa maju seperti Cina dalam 10th terakhir ini? Apa yang harus di utamain?
Hmm, kalo aja aku bisa ni, dan dana yang ada cukup, ini yang akan aku bikin kalo jadi Presiden ^^ :

1. Untuk ningkatin ekonomi Indonesia. Kira - kira apa caranya?
Kalo aku ya? Aku pikir kalo Ekonomi kita udah sejahtera, semuanya akan menjadi baik. Ekonomi tinggi (kemiskinan berkurang) otomatis tingkat pendidikan akan naik karena orang tua pasti akan berusaha untuk menyekolahkan anaknya, keamanan meningkat karena orang ga akan berpikir lagi untuk nyuri, rampok, maling (kalo tetep mah emang orangnya aja ndablek? Kira kira sektor apa ni yang bisa dongkrak perekonomian? Yang memang udah ada di Indonesia.
* Pariwisata
Indonesia kan kaya akan wisata tuh, tapi sayangnya ga dimanfaatkan maksimal. Cuman bersandar pada beberapa objek wisata aja. Kaya Bali, Lombok, Danau Toba, Bunaken. Sementara daerah lain di Indonesia kurang di maksimalkan. Indonesia kan ada 33 propinsi pasti tiap proponsi punya objek wisata kan? nah coba di kembangkan dengan lebih modern. Bukan dengan merubah objek pariwisata itu, tapi mengenalkannya By Internet, tambah fasilitas penunjang seperti tempat menginap dan restoran (tanpa merusak bentuk asli objek pariwisata) dan yang penting, perbaikan jalan menuju lokasi. Mungkin agak mahal tapi hasilnya pasti akan baik, yah seperti daerah puncak, masyarakat di sekitar dapat bekerja di sekitar penginapan kan? Bisa kerja di Hotel, Resto, yah intinya menambah lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Jadi ga perlu jauh - jauh dateng ke Jakarta untuk cari kerja, dan menuhin Jakarta ^^ Wisata Kuliner juga bisa di tonjolkan kan pasti masakan dari 33 propinsi beda - beda donk, juga usaha kerajinan tangan (souvenir untuk oleh - oleh) Pariwisata kalau di kelola baik, itu dampaknya ok banget si menurut aku. Gimana menurut teman - teman?
* Pertanian / Perkebunan
Indonesia negeri yang kaya, tanahnya subur, cocok banget untuk usaha pertanian / perkebunan. Tapi tentunya harus di liat lokasinya, ga mungkin Jakarta di jadiin daerah pertanian. Mana tanah yang buat nanem :D ??? Daerah mana yang memang cocok untuk pertanian ? Coba di kembangin, untuk jadi lumbung beras untuk dalam negeri, bahkan usahakan untuk ekspor. Perkebunan kaya tebu, sawit, sayur - sayuran, buah - buahan, daerah mana yang cocok? kembangin, dan maksimalkan, jadi ga banyak impor sayur dan buah dari luar. Kan banyak tuh sarjana pertanian? Trus ada Deparetemen Pertanian? Cari cara donk untuk kembangin produk lokal jadi kualitas ekspor. Jadi yang ngeliatnya jadi " napsu " untuk beli. Sarjana Pertanian kita banyak yang pinter donk pasti. Nah sebarin de ke seluruh Indonesia, ga perlu tergantung sama produk impor. (Aku aja lebih suka wortel kampung, kayanya lebih manis de ya?) ^^
* Perhutanan
Perhutanan bisa untuk bermacam - macam kegunaannya. Untuk hutan lindung, hutan wisata, juga untuk hutan produksi. Daerah perhutanan di Indonesia kira - kira di mana? Kalimantan, Sumatra, dan Irian. Fokusin di sini. Tapi jangan cuman ditebang aja, harus ada reboisasi. Yang paling penting kayu ilegal harus diberantas. Jadi produksi kayu untuk dalam negri bisa optimal.
* Industri dan Perdagangan
Nah, walaupun 3 hal di atas penting, tapi Perdagangan dan Industri ga bisa dilewatkan begitu aja. Globalisasi udah luas banget. jadi ini sektor yang penting untuk ekonomi Indonesia, perbankan juga salah satu komponen penting, untuk memberikan kredit pada masyarakat untuk UKM. Jadi untuk perbankan kalau dananya banyak yang jangan diendepin, tapi di cairin untuk modal usaha kecil, yah supaya berkembang de.

Dengan begini mudah - mudahan semua sektor dapat ikut terangkat. Sosial, Budaya, Pendidikan, Keamanan.

Ini mimpiku. Mimpi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara besar yang di akui oleh dunia Internasional.

Kita boleh bermimpi kan???

Semoga pemimpin kita kelak akan dapat memimpin negeri ini dengan baik dan bijak. Baik saja tidak cukup tanpa ada kebijaksanaan yang mengikuti.

Salam...

Jumat, 24 April 2009

Puisi Dari Hati...


Capricorn_3

Aku meneteskan air mata di 2006
karena letupan ketakutan
akan hilangnya dirimu dari sisiku…..

Aku meneteskan air mata di 2007
karena letupan kebahagiaan
karena dirimu masih bersamaku
di sisiku….

Aku meneteskan air mataku di awal 2008
karena letupan kesedihan yang amat dalam
karena kamu ga lagi ada di sisi aku…

Apakah di 2009
Kembali aku akan meneteskan air mata kepedihan
karena kehilangan kebahagiaanku
yaitu KAMU…
Untuk selamanya….
Ataukah..
Aku akan meneteskan air mata sukacita
karena aku menemukan kembali kebahagiaanku
yaitu KAMU…

Keraton Sanggau


Keraton Sanggau

Seperti di Jogja dan di Solo, Sanggau ternyata juga punya keraton looooh??? Keraton Sanggau terdapat di daerah sekitar tepi sungai Kapuas, deket sama pasar senggol (abis ga tau nama tempatnya…)….. Dari bentuknya si, itu adalah Keraton Melayu.
Dari arsitekturnya sih (mohon diralat kalau salah ya?)
Tapi sayang banget, Keraton ini tidak terawat dengan baik seperti keraton - keraton yang ada di daerah lain…
Padahal, Keraton Sanggau ini kan termasuk peninggalan sejarah ya??

Tapi udah lama ga pulang ke Sanggau, jadi ga tau udah di pugar atau belum??

Bahasa Melayu Kalbar

PETA BAHASA MELAYU KALBAR

Oleh Yusriadi

Pendahuluan

Meskipun deskripsi mengenai
bahasa Melayu di Kalimantan Barat sudah dilakukan sejak berabad-abad
lalu, namun informasi yang diberikan masih bercelaru. Belum ada
kesesuaian antara informasi yang berkembang di tingkat lokal, di
kalangan masyarakat awam dan informasi yang beredar di luar, khususnya
di kalangan akademisi.

Orang yang
tertarik melibatkan diri dalam diskusi mengenai bahasa di Kalimantan
Barat, menjadi bingung. Dan akhirnya ketidakselarasan ini dipahami
sendiri. Celakanya, kebingungan ini justru ditularkan dan menjadi wabah
endemik di kalangan dunia akademik.

Tulisan yang singkat dan
sederhana ini mencoba menampilkan dua hal tersebut. Mencoba memaparkan
pengetahuan masyarakat mengenai bahasanya dan menyoroti informasi yang
berkembang di kalangan akademik (dunia luar juga) –khususnya pada
usaha-usaha pemetaan bahasa serta identifikasi etnik.

Bahasa Melayu di Kalbar dalam Perspektif Lokal

Kepelbagaian
varian Melayu di Kalimantan Barat, telah lama disedari. Orang
Kalimantan Barat sendiri tahu bahawa hampir setiap bandar kabupaten ,
memiliki ragam bahasa Melayu yang berbeza antara satu dengan yang lain.
Ada ciri-ciri pembeza yang dengan mudah dikesani ketika mula berjumpa
dengan seseorang. Sehingga ketika seseorang berkomunikasi, orang yang
lain dengan serta merta bisa mengidentifikasi daerah asalnya.

Memang
ada beberapa kategori yang bisa diberikan sebagai penanda. Pertama,
menyangkut perbezaan kosa kata (leksikal), dan arti kata (semantik).
Penduduk menyadari, hubungan bahasanya dengan bahasa orang lain, adalah
cukup jauh. Yang terkadang mereka tidak memahami dengan baik, apabila
tidak pernah punya pengalaman berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
orang lain itu. Pada katagori ini, ada varian Sambas, Pontianak,
Ketapang, Sanggau, Ulu Kapuas, Melawi .

Kedua, menyangkut
perbezaan logat (fonologis dan suprasegmental). Penduduk menyadari
perbedaan variasi antar mereka tidak begitu jauh, dan mereka dapat
memahami semuanya dengan baik. Pengalaman di lapangan menunjukkan
bahawa penutur menyebut varian mereka sebagai varian yang sederhana dan
mudah, sedangkan varian orang lain sebagai varian yang dalam,
mengalun-alun, dilagu-lagukan. Mereka dapat meniru varian lain,
sekalipun kesannya agak berlebihan, mereka dapat mengerti varian yang
digunakan penutur lain dengan baiknya. Setiap kampung hampir bisa
dibezakan dengan kampung yang lain; terutama di daerah-daerah
pedalaman.

Catatan lapangan penelitian SEASREP di Sekadau
misalnya, dengan jelas menunjukkan begitu banyaknya varian Melayu lokal
yang bisa diidentifikasi dengan mudah oleh masyarakat sekitarnya.
Misalnya penduduk Sekadau Kota dengan mudah mengidentifikasi penutur
Melayu asal Cupang Gading, atau penutur bahasa Melayu asal Teluk Kebau.
Di Sungai Laur, penduduk Sandai dengan mudah mengetahui penutur asal
Cali, asal Jago, atau penutur asal Semapau Kuala.

Begitu juga
dengan kondisi yang dijumpai ketika peneliti di Putussibau. mendengar
orang berkomunikasi dengan sesama menggunakan varian Ulu Kapuas, dengan
mudah orang tahu penutur tersebut berasal dari kawasan Selimbau dan
sekitar, Bunut dan sekitarnya, Embau dan sekitarnya, Boyan dan
sekitarnya, atau Putussibau dan sekitarnya.

Sebagai bandingan,
peneliti Institut Dayakologi, Sujarni Aloy dan kawan-kawannya (Sujarni
Aloi, dkk 1997), pernah melakukan pengumpulan data di tiga kabupaten di
Kalbar; Kabupaten Pontianak, Ketapang dan Sintang, tahun 1997. Sesuai
dengan misi ID, penelitian ini hanya memberikan gambaran keberadaan
bahasa-bahasa yang dituturkan sub suku Dayak di tiga kabupaten tersebut
berdasarkan epistimologi tradisional –berdasarkan penamaan menurut
pengetahuan masyararakat tempatan.

Hasilnya sungguh sangat
mengejutkan. Ada 50 bahasa di Ketapang, yaitu : bahasa Dayak Kualatn,
Bahasa Mali, Bahasa Kancikng, Bahasa Cempede’, Bahasa Semanakng, Bahasa
Sajan, Bahasa Banjur, Bahasa Gerai, Bahasa Baya, Bahasa Laur, Bahasa
Joka’, Bahasa Domit, Bahasa Pawatn, Bahasa Krio, Bahasa Konyeh, Bahasa
Biak, Bahasa Beginci, Bahasa Tumbang Pauh, Bahasa Gerunggang, Bahasa
Kayong, Bahasa Majau, Bahasa Pangkalan Suka, Bahasa Kebuai, Bahasa
Tola’, Bahasa Marau, Bahasa Batu Tajam, Bahasa Kengkubang, Bahasa
Pesaguan Hulu, Bahasa Kendawangan, Bahasa Pesaguan Kanan, Bahasa
Kekura’, Bahasa Lemandau, Bahasa Tanjung, Bahasa Benatuq, Bahasa
Sumanjawat, Bahasa Tembiruhan, Bahasa Penyarangan, Bahasa Parangkunyit,
Bahasa Perigiq, Bahasa Riam, Bahasa Belaban, Bahasa Batu Payung, Bahasa
Pelanjau, Bahasa Membuluq, Bahasa Dayak Menggaling, Bahasa Air Upas,
Bahasa Sekakai, Bahasa Air Durian, Bahasa Sempadian.

Selain itu, Sujarni Aloi, dkk memberitahukan bahwa di Sintang ada 33 bahasa, dan di Kabupaten Pontianak ada 69 bahasa.

Jika
perspektif ini juga dipakai untuk mengambil informasi mengenai bahasa
Melayu di seluruh Kalimantan Barat, maka bisa jadi ada puluhan, bahkan
mungkin ratusan nama varian yang dituturkan orang Melayu di Kalimantan
Barat. Di Kapuas Hulu saja, orang bisa membezakan antara penutur Melayu
di Riam Panjang, Sukaramai, Nanga Semelangit, Mawan, Menendang, Nanga
Temenang, Nanga Letuh, Pengaki, Selimbau, Semitau, Putussibau, Nanga
Semangut, dan lain sebagainya. Hitung lagi varian Melayu di Pontianak,
di Sungai Laur, Sungai Sekadau, Sungai Sambas, dan sungai-sungai utama
di Kalbar lainnya.

Bahasa Melayu Kalbar dalam Perspektif Luar

Sekalipun
Kalimantan Barat cukup istimewa dalam pentas akademik sejak dinobatkan
sebagai tanah asal usul bahasa Melayu, pengetahuan dunia luar mengenai
keadaan bahasa Melayu di Kalimantan Barat masih masih kurang. Padahal,
penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa utama sudah disinggung tiga
ratus tahun lalu. Thomas Bowrey menerbitkan peta nusantara (Bowrey,
1701) yang dilampirkan bersama Kamus Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu,
menyenaraikan tempat-tempat bahasa Melayu dituturkan, termasuk kawasan
pantai Pulau Borneo Bahagian Barat (Kalimantan Barat).

Pada
tahun 1984 terbit sebuah peta persebaran bahasa (termasuk bahasa Melayu
di Kalimantan Barat) yang diusahakan Wurm dan Hattori (1984). Mereka
memberikan gambaran secara geografis persebaran bahasa yang diberi satu
nama, yakni bahasa Melayu Pantai Barat Bornoe (Western Coastal Malay),
mengelilingi pantai barat dari utara ke selatan, dan kemudian
persebaran itu masuk menyusuri aliran Sungai Kapuas hingga Bunut (Nanga
Bunut atau Kecamatan Bunut?), sepanjang Sungai Melawi hingga Serawai.
Di aliran Sungai Pawan, dari muara hingga Sandai.

Pada tahun
1990, dalam bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo, Collins (Collins
1990) ada kemajuan dengan memasukkan dua nama; yang secara riil dikenal
masyarakat, yakni Melayu Pontianak dan Melayu Sambas. Peta ini
ditampilkan berdasarkan data yang diperoleh di berbagai perpustakaan,
yang dipublikasikan sebelum tahun 1987.

Selebihnya, belum
dijumpai ada peta bahasa yang memberikan gambaran mengenai bahasa
Melayu, sampai hari ini. Collins sendiri dalam surveynya kemudian
menyebutkan tidak kurang dari lima dialek Melayu yang resmi dipakai di
Kalimantan Barat (Collins 1999: 7). Di barat laut, Melayu Sambas
digunakan sepanjang lembah Sungai Sambas. Di sebelah timur Sambas,
sepanjang Sungai Landak, beberapa kampung penutur bahasa Melayu. Di
kampung-kampung itu bahasa Melayu Landak digunakan. Di Kota Pontianak
dan sekitarnya digunakan dialek Melayu Pontianak, dialek yang sangat
dipengaruhi dialek Melayu Riau. Sejauh 80 kilometer ke hulu Sungai
Kapuas dari Pontianak, yakni di Sanggau, Sekadau, Sintang, digunakan
dialek Melayu Ulu Kapuas. Di selatan Kapuas, sepanjang Sungai Pawan
digunakan dialek Melayu Ketapang.

Agak baik disebutkan juga
mengenai gambaran persebaran etnik di kawasan ini. Karena, biasanya
persebaran etnik bisa menjadi petunjuk awal penggunaan bahasa. Ada peta
Nieuwenhuis (1994), peta Tjilik Riwut pada tahun 1954 (Tjilik 1979),
dan peta Sellato (1989) yang menampilkan pelbagai suku di Kalbar.

Kecelaruan dan Masalah yang Muncul

Dari
gambaran persebaran bahasa Melayu di atas orang akan terkesan, karena
begitu banyaknya varian dinamakan, bahkan hampir-hampir, satu kampung
menjadi satu nama bahasa. Sebaliknya nama yang diberikan oleh pihak
luar begitu sederhana dan generalis. Seperti yang diberikan Wurm dan
Hattori (1983:42), untuk kawasan Kalimantan Barat diberi nama ‘western
coastal Malay’. Kedua-duanya meragukan kita. Karena kadang kala
penjelasan yang diberikan tidak cukup untuk memahami nama yang
digunakan, dan alasan kenapa salah satu nama digunakan, tidak nama yang
lain.

Dan akhirnya justru pilihan terakhir diserahkan kepada
masing-masing orang, yang malangnya justru menyesatkan. Simak pandangan
Dobby (1979: 276-278), bahwa bahagian kosong dari distribusi etnik di
peta Kalimantan, lebih mungkin dihuni oleh orang Dayak. Logikanya,
pulau Kalimantan sebagai pulau orang Dayak, tentulah mereka berada di
mana-mana merata kawasan. Ada banyak survey membuktikan bahwa pandangan
ini lebih banyak salahnya daripada benar.

Memang
kecelaruan mungkin bukan disengaja. Pengetahuan dunia luar jelas
didasarkan seberapa banyak informasi yang masuk, dan informasi yang
mereka terima. Kita bisa memahami ketika pemahaman orang luar mengenai
bahasa Melayu di Kalbar tidak tepat. Kita bisa belajar banyak ketika
melihat data yang ditunjukkan Collins (Collins 1990), atau data yang
ditunjukkan Avé, Jan., V. King., dan J. De Wit. (1983), atau Cense,
A.A. dan E.M. Uhlenbeck (1958).

Dalam Bibliografi Dialek
Melayu di Pulau Borneo, kita ditunjukkan pada kenyataan minimnya
publikasi karya akademik mengenai bahasa di Kalimantan Barat yang
beredar di dunia luar. Dengan menghimpun karya akademik dalam bidang
linguistik dan bidang lain yang dapat memberikan data liguistik yang
diterbitkan hingga tahun 1987, di berbagai perpustakaan, terlihat
bahawa data yang memadai mengenai varian Melayu di Kalimantan Barat
hanya ada dua! yakni Sambas (2) dan Pontianak (4). Rupanya data
penelitian dialek Melayu Ketapang, Sanggau, Melayu Ulu, bahkan
Putussibau, tidak dijumpai ketika itu. Karena itu, wajar jika kemudian
dunia luar tidak bisa memahami Kalimantan Barat secara tepat.

Banyak
faktor yang dapat dikaitkan dengan tertinggalnya penelitian bahasa
Melayu (penelitian pada umumnya) di daerah ini. Di antaranya,
sebagaimana ditunjukkan dalam Avé, King dan De Wit (1983), peneroka
alam pedalaman ini dilakukan oleh orang luar yang masih berfokus kepada
penduduk bukan Melayu (Islam). Sedangkan penelitian yang dijalankan
oleh orang lokal sendiri masih berkisar pada Melayu di pantai. (Lihat
juga Collins 2002).

Masalah juga muncul ketika orang-orang lokal
tidak memiliki pengetahuan atau kepakaran yang cukup untuk melakukan
tugas itu. Sebagai catatan, penelitian yang dilakukan di bawah proyek
Pusat Bahasa, dilakukan kalangan internal pimpinan proyek, yang
memiliki disiplin beragam. Mulai dari sastra, hingga pengajaran. Mereka
yang berkelulusan sarjana linguistik apalagi Ph.D Linguistik nyaris
tidak ada –kalaupun tidak ada sama sekali (lihat Yusriadi 1999).

Tambahan
lagi, keadaan alam yang masih belum seberapa terbuka di pedalaman
mendatangkan keengganan peneliti mengunjungi perkampungan-perkampungan
di sana. Sekurang-kurangnya mereka harus memikirkan berbagai cabaran
yang sukar dan menggerunkan.

King (1974: 32) pernah
menggambarkan betapa sukar melakukan kerja ilmiah khususnya di
pedalaman : ‘however, for upriver work, and this usually means in the
tributaries of the main Kapuas, distance and the lack of reliable and
adequate transport can mean a great deal expense, a lot of time wasted,
frequent difficulties in obtaining food supplies, in getting medical
help, mail and other essential goods such as film and stationery.

Aspek
dana juga menjadi kendala utama. Dana penelitian terbatas, akan menjadi
hambatan bagi peneliti untuk mengunjungi tapak-tapak penelitian yang
penting. Karena itu salah satu cara yang mudah hanyalah dengan
mengunjungi satu dua tapak dan kemudian membuat kesimpulan. Dengan cara
ini, peneliti tidak dibebankan pada biaya ojek yang cukup mahal, biaya
carter speedboat dan sampan, atau sewa mobil. Cara ini juga tidak
membebankan peneliti untuk merogoh isi kantong memberikan sagu hati
kepada pendamping lapangan, atau banyak informan.

Sehingga
akhirnya, seperti yang pernah disampaikan pembicara dari Pusat Bahasa
Jakarta pada satu seminar di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
tahun 2001 lalu, karena masalah dana, akhirnya proyek penelitian bahasa
daerah beberapa waktu lalu hanya bisa menjangkau kawasan yang dekat
jalan aspal, dan mudah dijangkau saja .

Setidaknya, itulah hambatan yang pernah disampaikan peneliti dalam usaha melakukan eksplorasi akademik di Kalimantan Barat.

Tentu
saja masalah ini punya implikasi yang luas, karena dengan terbatasnya
kunjungan lapangan, informasi yang diperoleh merupakan informasi tangan
kedua, atau malah ketiga. Informasi pertama dan lengkap yang bisa
diperoleh dalam suasana tabii di kampung-kampung tidak bisa dilakukan.

Padahal,
sudah banyak pengalaman penelitian bahwa pungutan data di hotel bisa
mempengaruhi informan. Begitu juga, pungutan data begini menyebabkan
kita berada pada tiadanya pilihan. Bagaimana kalau ternyata informan
datang ke hotel itu berusaha menyajikan yang menurutnya dianggap baik
belaka, mereka yang punya stigma sendiri mengenai bahasanya dan bahasa
orang lain. Lihat catatan Collins (1999: 16)

‘Di Kalimantan
Barat …., orang tidak hanya memilih menampilkan dirinya kepada orang
lain dengan cara tertentu, mereka juga memilih untuk memperbesar
perbedaannya yang telah ada. Selama pengumpulan data untuk penelitian
ini, selalu bila saya bertanya kepada orang di desa tentang suatu kata
tertentu yang diterima ialah bantahan. ‘Oh, tidak cara berbicara orang
Melayu,’ ‘Kata itu dapat kamu dapatkan di seberang sungai, itu kata
orang Dayak’.

Sudah sering terjadi, pengetahuan informan juga
terbatas. Orang Kalimantan Barat tidak pernah tahu mengenai varian
Cali. Bahkan orang-orang sekitar Cali –seperti Jago atau Sandai yang
jaraknya hanya beberapa puluh kilometer saja misalnya, hanya tahu
tempat itu angker, dan menakutkan, banyak ilmu hitam, banyak pengalaman
mistik yang semuanya membuat berdiri bulu roma. Sedikit informasi, ada
yang mengatakan bahasanya berbeda sedikit, ada yang mengatakan sama
saja dengan bahasa Melayu di Ketapang, dan bahkan ada yang mengatakan
kalau bahasa di sana jauh sekali berbeda dengan bahasa orang
sekitarnya. Jika peneliti hanya menangkap sepintas lalu informasi itu
dan tidak mendatangi Cali, maka pasti bahwa varian Cali yang memiliki
ciri-ciri berbeza dibandingkan dengan varian sekitarnya, dan varian
Melayu lain, tak pernah akan tersingkap.

Apa yang terjadi di
di Sungai Mmayan pada masyarakat Pengaki (sebagian mereka menyebut diri
orang Mmayan, dan sebagian lain menyebut dirinya sebagai orang Melayu)
juga begitu.. Tak banyak yang diketahui mengenai mereka, kecuali mereka
diam di arah selatan Sungai Embau dan agak terisolir, hingga kemudian
peneliti sampai di sana pertengahan tahun ini. Rupanya, ada cukup jauh
perbedaan antar varian mereka dengan varian sekitarnya. Sebagian mereka
mengaku bertutur bahasa Melayu, dan sebagian lain mengaku mereka
bertutur bahasa Mmayan. Sedangkan orang luar memberitahukan mereka
bertutur bahasa Pengaki.

Penelitian Lapangan dan Peta Bahasa Melayu

Memang
sejak penerbitan bibliografi Collins (1990) perkembangan dunia akademik
bahasa Melayu di Kalimantan Barat tidak menunjukkan kemajuan berarti.
Sehingga Collins sendiri menunjukkan keheranannya:

‘Kalimantan
Barat sangat penting untuk mengerti sejarah sosial-budaya dari kawasan
Asia Tenggara. Pertama, sejumlah ahli (Blust 1992, Adelaar 1994,
Collins 1995, Nothofer 1996) telah mengenali bahwa daerah berawa dan
delta Kalimantan Barat seharusnya merupakan daerah asal prasejarah dari
bahasa Melayu…..Kedua, pada masa sejarah awal, Kalimantan Barat
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan regional perdagangan
internasional, beberapa temuan arkeologis gendang gangsa dari Dongson,
manik-manik batu akik dari India, patung Buddha emas Boddhisatvas,
semuanya di lembah sungai Sambas Kalimantan Barat menunjukkan adanya
bentuk pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari
pemerintahan Sriwijaya (Nik Hassan Suhaimi, p.c). … Ketiga, perlu
diperhatikan bahwa banyaknya jumlah kesultanan, kerajaan kecil, daerah
kekuasaan Melayu di Kalimantan Barat melampaui jumlah daerah manapun di
Nusantara. Demikian pula umur dari unit-unit politik beragam mulai dari
zaman purba seperti Sambas sampai yang baru seperti Pontianak’.
(Collins 1999: 1)

Pernyataan Collins berangkat dari kenyataan
bahwa hanya ada beberapa tulisan saja sebelum tahun 1999 itu. Ada
beberapa tulisan Collins mengenai bahasa-bahasa di kawasan ini
(Yusriadi 2002). Tulisan Moh Mar’a (1990), kamus kecil Mawardi (1997)
tentang Melayu Sambas, tesis Yusriadi tentang dialek Melayu Ulu Kapuas
(1999).

Setelah tahun 2000, ada disertasi Jaludin Chuchu yang
menyentuh dialek Sambas (tahun 2001), tesis Firman Susilo mengenai
bahasa di Sungai Melawi (2002). Pada era ini, koleksi data yang
dipungut tim peneliti ATMA, UKM-PKBM Untan cukup memadai. Setelah
anggota Tim (James T. Collins, Chong Shin, Yusriadi dibantu Hadi Kifli,
Derensius dll) menyusuri dua sungai besar yang bersambungan di tengah
pulau, yakni Sungai Sekadau anak Sungai Kapuas yang menganak ke
selatan, dan Sungai Laur anak Sungai Pawan yang menganak ke utara. Ada
banyak koleksi data varian Melayu. Juga perlu disebutkan, selain
beberapa skripsi (latihan ilmiah) mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di
Universitas Tanjungpura.

Namun, Kalimantan Barat pulau yang
luas, dengan kondisi jelajah alam yang payah, dengan keragaman penduduk
yang tinggi, belum diteroka dengan tuntas. Bahkan kalau mau dikatakan,
proyek yang dilaksanakan ATMA-PKBM dengan dana SEASREP itu baru
membangun tapak saja. Banyak lagi sungai yang belum ditelusuri. Sungai
Kapuas, Sungai Pawan, Sungai Melawi baru sebagiannya saja. Sungai
Mempawah, Sungai Sambas, Sungai Sekayam, Sungai Semandang, Sungai
Landak, Sungai Ketungau, Sungai Bunut, belum disentuh.

Sekali
lagi pengetahuan umum saja tidak cukup, begitu juga pengetahuan yang
berkembangan di kalangan (akademisi) luar juga tidak memadai. Jalan
satu-satunya adalah dengan melakukan penelitian di lapangan.

Bila
agenda ini bisa dilakukan segera, maka kita akan bisa menyusun sebuah
gambaran yang baik dan memadai, yang bisa ditunjukkan kepada dunia
luar. Kita bisa meralat informasi yang keliru, dan meluruskan pemahaman
yang bercelaru.

Penutup

Apa yang digambarkan di atas
merupakan contoh nyata kondisi dunia akademik bahasa Melayu di
Kalimantan Barat. Memang ada berbagai faktor yang sudah dinyatakan di
atas, terbatasnya dana, tenaga, dan tantangan alam, sehingga tidak
banyak orang yang dapat melakukan eksplorasi ke semua tempat, khususnya
ke daerah pedalaman.

Oleh sebab itulah dengan usaha AMANAT
ini, dengan berlandaskan peneliti tempatan yang dipersiapkan untuk itu,
maka kondisi realistis bahasa di pedalaman Kalimantan Barat diharapkan
akan terungkai dengan baik. Dan menampilkan sesuatu secara lebih
meyakinkan. Usaha ini di kemudian hari akan membantu orang memahami
Kalimantan Barat khususnya, dan dunia Melayu secara umum secara lebih
tepat. Jelasnya, kita tidak perlu lagi terangguk-angguk ketika
diberitahu, di pulau Kalimantan orang Melayu adalah pendatang yang
berdiam di pantai, yang menggunakan satu varian Melayu.

Bibliografi

Avé, Jan., V. King., dan J. De Wit. 1983. West Borneo, a bibliography. Dordrecht: Foris Publications.
Azharie
Arief, Endang Susilowati, Mochtar Umar dan Y. Trimantono G.H.1989.
Morfologi dan sintaksis bahasa Melayu Sanggau. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Bowrey, T. 1701. A dictionary , English
and Malayo, Malayo and English, to which is added some short grammar
rules & directions for the better observation of the propriety and
elegancy of this language. London: Sam Bridge.
Cense, A.A. dan E.M. Uhlenbeck.1958. Critical survey of studies on the languages of Borneo. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Collins, J. T. 1995. Kalimantan sebagai titik tolak pengkajian bahasa Melayu. Jurnal Dewan Bahasa 39 (10) : 866 - 879.
Collins,
J.T. 1999. Keragaman Bahasa Melayu di Kalimantan Barat. Makalah Seminar
Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, Pontianak, 23 September.
Collins, J. T.1990. Bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Dobby, E. 1982. Asia Tenggara. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Firman
Susilo. 2001. Pemakaian bahasa Melayu di daerah aliran Sungai Melawi
(Kajian Geografi Dialek. Tesis MA, Yogyakarta : Universitas Gajahmada.
Hooker,
V. Matheson. 1991. Tuhfat Al-Nafis: sejarah Melayu-Islam. Terj. Ahmad
Fauzi Basri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jaludin Chuchu. 2001. Disertasi. Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia.
King, Victor. 1993. The peoples of Borneo. Oxford : Blackwell.
Mawardi Rivai. 1997. Kamus bahasa Melayu Sambas. Pontianak: Romeo Grafika Press.
Moh. Mar’a. 1990. Pronomina persona dan pronomina penunjuk dalam dialek Melayu Sambas. Jurnal Dewan Bahasa 34 (8): 598-603.
Nieuwenhuis,
A. 1994. Di pedalaman Borneo, perjalanan dari Pontianak ke Samarinda.
Terj. Theresia Slamet dan P.G. Katoppo. Jakarta : PT. Gramedia.
Sellato, Bernard. 1986. An ethnic sketch of the Melawi area West Kalimantan. Borneo Research Bulletin 18 (1): 46-58.
Sellato, Bernard. 1989. Hornbill and dragon - burung enggang dan naga. Kuala Lumpur: Elf Aquitaine Indonesie - Malaysia.
Stokhof,
WAL. (Ed.). 1986. Holle lists : Vocabularies in languages of Indonesia,
Kalimantan (Borneo). Pacific Linguistics D- 69 (8). Canberra: The
Australian National University.
Sujarni Aloi, dkk. 1999. Keragaman
Bahasa Dayak di Kalimantan Barat Berdasarkan Epistimologi Tradisional.
Makalah Seminar Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, Pontianak,
23 September.
Teeuw, A. 1961. A critical survey of studies on Malay and bahasa Indonesia. ’s- Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Tjilik Riwut. 1979. Kalimantan membangun. Palangkaraya: t.pt.
Wurm,
S.A. dan S. Hattori. 1983. Language atlas of the Pacific area, Part II.
Canberra : Australian Academy of the Humanities in Collaboration with
the Japan Academy.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Yusriadi. 2001. Catatan lapangan penelitian etnik, identitas dan kesatuan di Kalimantan Barat. Naskah.
Yusriadi. 2002. Kalimantan Barat dari Perspektif Bahasa, (Kumpulan Artikel James T Collins. Naskhah.

Suradi
Bohari, dkk. 1985. Struktur Bahasa Melayu Sanggau. Laporan Penelitian :
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan
Barat.
Patriantoro dan Sudarsono. 1997. Geografi Dialek bahasa
Melayu di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Laporan Penelitian.
Pontianak: FKIP Untan.
Patriantoro dan Sudarsono. 1998. Geografi Dialek bahasa Melayu di Kabupaten Sanggau. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Patriantoro. 1998. Geografi Dialek bahasa Melayu di Kabupaten Sintang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Ahadi Sulissusiawan, dkk. 1998. Struktur bahasa Melayu dialek Ketapang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ahadi Sulissusiawan. 1999. Fonologi bahasa Melayu Ketapang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Ahadi Sulissusiawan. 2000. Sintaksis bahasa Melayu Ketapang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Firman Susilo. 1998. Struktur bahasa Melayu Sintang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.
Firman Susilo. dkk. 1998a. Fonologi bahasa Melayu Sambas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Firman Susilo. 1998b. Morfologi bahasa Melayu Ketapang. Laporan Penelitian. Pontianak: FKIP Untan.

Suku Dayak Kalbar


LATAR BELAKANG SEJARAH

  • Asal Usul

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau
kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur
wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya
Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin,
Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu
kotanya Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang
lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing
sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya
yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan
adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat
yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan
sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan,
1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat,
terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di
seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari
luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke
pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu
daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan
sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa
kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya
bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena
berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat
dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh
yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut
diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten
Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak
Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang.
Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah,
Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah
sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama
sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan
diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang
diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata
Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di
pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat
khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim
di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat
dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di
banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan
Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum,
Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif.
Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan
ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen.
Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang
merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa
Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah
meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika
dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan
dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap
proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius
bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat
berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu
Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir
Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing,
kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu)
dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak,
kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil
dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka
(merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka
berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang
besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika
bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing
ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli
barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir
Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak)
dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi
masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang
Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari
luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka
masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang
Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam
diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada
penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun
mulai menyebar di Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya,
mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang
mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk
sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa
lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (
Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air),
Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan’gh(Dayak Mali)
dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan
dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk
semakin jauh kepedalaman.

adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh
karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang
dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan
dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para
misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya
masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap
oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli
(memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka
berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena
Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku
melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari
agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah
penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang
pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam
lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan
dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi
ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara
lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di
percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi
gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja
kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya
berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya,
dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya
penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah
asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah
menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk
senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan
Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari
ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di
kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang
mereka segani.

[sunting] PEMBAGIAN CIRI TARI DAYAK

  • BERDASARKAN WILAYAH PENYEBARANNYA DI KALIMANTAN BARAT

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik
yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan
Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan
Barat menjadi 5 besar yakni:

  1. . Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara,
    Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten
    Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.
  2. . Ribunic / Jangkang Grop : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang,
    Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di
    Kabupaten Sanggau Kapuas,
  3. . Dayak Mali, Tobakng Benua sampai Balai Bekuak Kabupaten Ketapang dan sekitarnya.
  4. . Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang,
    Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa,
    Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas
    (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya
    (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten
    Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam.
  5. . Tamanic Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.


Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah
besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan, karena
menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil.
Misalnya Dayak di Kabupaten Ketapang, daerah Persaguan, Kendawangan,
daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea,
Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya.
Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman,
Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi,
yaitu: Linoh, Nyangai, Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan
dsb. Kemudian Kapuas Hulu diantaranya: Suhaid / suaid, Mentebah, Suruk,
Punan, Bukat, Kayan ( masuk kelompok kal-tim), Manday dan sebagainya.

Pembagian berdasarkan ethnolinguistik sangatlah menarik untuk di
kaji dan perkuat berdasarkan Observasi, analisa, dan study lapangan.
Maka berdasarkan grop terbesar masing-masing kelompok, tari Dayak di
Kalimantan Barat, terbagi sebagai berikut: Kelompok Kendayan / Kanayatn
grop, sampai kepada Jangkang grop, gerak tarinya mempunyai cirri yang
rancak atau keras, menghentak, kejang-kejang, stakato. Untuk Kabupaten
Sanggau Kapuas gerakan tersebut mulai timbul variasi, ada yang lembut
dan ada juga yang keras. Pengaruh tari dari wilayah Kendayan grup
Kabupaten Pontianak menyebar berdasarkan arah mata angin dalam radius
tertentu, sampai ke Sanggau Kapuas. Hal ini di karenakan Kelompok
kendayan /kanayatn (Bukir / ahe) mayoritas bermukim di Kabupaten
Pontianak, Landak, dekat dengan kota pantai ( Pontianak, Mempawah dsb
yang merupakan pintu masuk kedaerah pedalaman, hingga dapat menjadi
filter demikian juga dapat mengalkulturasikan gerak tari “nya” dan yang
mempengaruhinya. menyebabkan pengaruh penyerapan budaya yang secara
lansung menyentuh pada komunitasnya. Hal ini juga secara filosofis
dipengaruhi karaktaristik masyarakatnya yang keras ( karna berhadapan
dengan budaya urban ) hingga mempengaruhi cultur social di bidang
kesenian tarinya. Cirri stakato dan hentakan-hentakan lebih dominan
pada kaki dan tangan, terutama tumit (Kendayan grop), demikian juga
iringan musiknya mempunyai irama yang berdinamika, keras, tegas
(walaupun umumnya suku Dayak lebih mengambil objek tari yang terdapat
pada alam). Ibanik / grop, mulai dari kabupaten Sekadau, sampai ke
kapuas hulu serta kelompok Tamanik dan Dayak yang lainnya yang bermukim
di daerah Kapuas Hulu Kalimantan Barat, mempunyai cirri gerak yang
lembut, tegas, lincah, mempunyai gerak yang kontinyu (mengalir).
Dominan cirri gerak tampak pada pinggul, kaki melangkah menyilang, dan
cirri gerak tangan banyak menirukan gerak alam, burung-burung, cirri
simetris (sebangun) dan gerak asimetris (tidak sebangun) tidak terlalu
mendominasi walaupun ada untuk Dayak Kapuas Hulu. Sedangkan instrumen
musiknya variatif baik musik tetabuhan maupun musik sapek. Tidak
sekeras, dan stakato seperti wilayah Kabupaten Pontianak sampai ke
Kabupaten Sanggau. Ciri-ciri gerak tari kelompok Ibanic Grop, mulai
dari Kabupaten Sekadau sampai Kapuas Hulu tidak banyak mengalkulturasi
atau tersentuh gerak tari luar (urban), karena ketika pendatang yang
membawa kesenian luar tiba, mereka terfilter dan tertranspormasi
diwilayah yang disinggahi pertama, baru kemudian menyebar ke daerah
lainnya demikian juga cirri gerak kelompok Kapuas Hulu lainnya, kecuali
Dayak Suaid ( terpengaruh gradasi budaya karena pengaruh masuknya agama
kristiani di masa lalunya) Untuk suku Dayak Kayan dengan sub nya gerak
tarinya lebih halus lagi dan lembut sesuai dengan iringan musik
sapeknya, demikian juga yang bermukim di Serawak maupun Kalimantan
Timur, dan suku serumpunnya yakni Dayak Kenyah.

Tari Ngajat / Nyambut Temuai Datai Dayak Mualang (ibanic grop) Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat

[sunting] LATAR BELAKANG TARI AJAT TEMUAI DATAI

  • Latar Belakang

“Ajat Temuai Datai” diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic
Group), yang tidak dapat diartikan secara lansung, karna terdapat
kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya adalah
Tari menyambut tamu, bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau
tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa
pengayauan / masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak.
Mengayau, berasal dari kata me – ngayau, yang berarti musuh (bahasa
Dayak Iban). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni
suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara
menyerang dan memenggal kepala lawannya. Pada masyarakat Dayak Mualang
dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan menang dan
membawa bukti perang berupa kepala manusia, merupakan tamu yang agung
serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi
kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”.
Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu
semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan
sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan
Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi
pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam,
dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan
hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah
kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak
Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !,
sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam
pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan
tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang
atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti
para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan
khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan
utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan
acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui tiga babak yakni:
Ngiring Temuai (mengiringi tamu ataupun memandu tamu) sampai kedepan
Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini
dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan tari Ajat
(penyambutan). Kemudian kepala suku mengunsai beras kuning
(menghamburkan beras yang dicampur kunir / beras kuning) dan membacakan
pesan atau mantera sebagai syarat mengundang Senggalang burong (burung
keramat / burung petuah penyampai pesan kepada Petara atau Tuhannya).
Babak yang kedua yakni mancung buloh (menebaskan mandau atau parang
guna memutuskan bambu), berarti bambu sengaja dibentangkan menutupi
jalan masuk ke rumah panjai dan para tamu harus menebaskan mandaunya
untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan
yang menghalangi perjalanan tamu itu. Babak yang ketiga adalah Nijak
batu (menginjakkan tumitnya menyentuh sebuah batu yang direndam didalam
air yang telah dipersiapkan), sebagai simbol kuatnya tekad dan tinginya
martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada
rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu itu sebagai simbol
keras dan kuatnya semangat dari batu itu diteladani oleh pahlawan atau
tamu yang disambut. Babak keempat yakni Tama’ Bilik (memasuki rumah
panjai), setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik
ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang
disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang / mengusir roh
jahat). by. John Roberto P, S.Sn Dokumen

Kata kata Bijak Suku Indian



" Ketika sungai terakhir telah diracuni
Ketika ikan terakhir telah diambil
dan ketika pohon terakhir telah ditebang,
manusia baru akan sadar
kita tidak bisa makan uang…"
(kata-kata bijak suku Indian kuno)


Pesan: bijaklah dalam memanfaatkan alam dan kekayaannya, kita semua
hidup dari sana, anak cucu kita menggantungkan harapannya pada
kebijakan-kebijakan kita masa kini. Jika alam telah terlanjur rusak,
jika kekayaannya telah terlanjur habis, anak cucu kita lah yang paling
merasakannya kelak. Jika semua kerusakan itu muaranya hanya karena demi
uang, lebih berharga mana satu gudang uang tapi tidak ada bahan makanan
dibanding memiliki beberapa kilo beras tapi tanpa sepeserpun uang?
Uang memang penting, tapi uang bukanlah segalanya. Uang tidak ada
artinya lagi jika alam semesta ini sudah tidak menghasilkan apa2.



__________________
Selalu ada sisi positif dari setiap hal
Fokus pada hal-hal positif agar hidup berkelimpahan dengan kebaikan

www.montecarlo-group.com
aldenprap@yahoo.com

Kata2 Bijak Kuno Suku Indian

Cerita Dari Borneo - Aggrek Hitam Untuk Domia

Dongeng Kalimantan-diceritakan oleh: R. Masri Sareb Putra

(Bobo No. 10/XXVIII)



Gong
dari rumah panjang menggelagar bertalu-talu. Penduduk kampung
Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, berarti ada keadaan
genting. Merekapun bergegas mendatangi rumah itu.
Rupanya,
seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun bayinya
tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua
kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan ia berdoa dan bernazar,
"Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!"

Jubata
adalah dewa tertinggi suku Dayak. Jubata adalah perantara antara
manusia dan Tuhan. Darahitam yakin Jubata akan menolongnya. Dan…

"Hoa, hoa, hoa …" suara tangis bayi memecah keheningan.

Seluruh
penduduk desa menyambut gembira. "Ia lahir dengan selamat! Bayi yang
cantik! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya
lentik," seru para wanita.

Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, Domia berarti dewi.

Seperti
ramalan banyak orang, Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria
yang melamarnya. Namun Domia menolaknya. Sebab ia terikat nazar ibunya
pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan, atau imam wanita.
Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun bisa membatalkan
nazarnya. Kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya.

Meskipun
demikian, Domia jatuh cinta pada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda
itupun mencintai Domia. Namun Ikot Rinding heran. Karena Domia tak mau
menikah dengannya.

Suatu
hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Namun, karena tak ada
seekor ikanpun yang didapatnya, ia lalu pergi ke hulu sungai. Di tengah
jalan, Ikot Rinding terhenti! Ia melihat Domia sedang mencuci pakaian.
Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.

"Domia, mengapa kau tak mau menjadi istriku?" tanya Ikot Rinding.

Mendengar
pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis cantik itu akhirnya berterus
terang. Ia bercerita tentang nazar ibunya pada Jubata ketika
melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot Rinding mendengar cerita itu. Ia
tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan oleh Jubata sendiri.
Tapi… kemana ia harus mencari Jubata?
Karena
cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Siang berganti malam.
Malam menjelang pagi. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di
Bukit Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah
pohon rindang. Begitu bangun, hari sudah pagi. Berarti ini hari ketujuh
pengembaraanya mencari Jubata.

Ketika
akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit
tergeletak di tanah. Di hutan belantara tak berpenghuni ini ada sumpit?
Dari mana asalnya? Ikot Rinding segera memungutnya. Di hutan belantara
seperti ini, sumpit tentu sangat berguna, pikirnya.
Ikot
Rinding meneruskan pengembaraanya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia
tiba-tiba teringat pada nasihat ibunya. Ketika masih kecil, saat
menemani ibunya menyikat pakaian di atas batu, ibunya selalu berkata,
"Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin!"

Seketika
Ikot Rinding berbalik, meletakkan sumpit itu ke tempat semula. Sumpit
itu bukan miliknya. Mungkin milik pemburu yang lewat di daerah itu.
Maka
Ikot Rinding pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya
lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Tapi begitu ingat akan Domia, ia
menjadi bersemangat kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara desisan.
Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia berhenti di depan Ikot
Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang. Badannya yang tadi
melingkar, ditegakkan.
Ikot
Rinding sadar ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting.
Diputar-putarnya ranting itu. Lalu dengan cepat tangan kirinya
menyambar leher si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak
tipunya. Dilemparnya ular tedung itu jauh ke tepi jurang.

Usai
pertistiwa itu, terdengarlah langkah kaki. Rupanya ada orang yang
menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot
Rinding curiga. Namun wajah pemuda itu tampak ramah.
"Aku
Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini," ujarnya. Salampandai
bercerita, sudah dua hari ia berburu. Namun tak berhasil menangkap
apapun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa
ayahnya menyuruhnya rajin berlatih menyumpit. Terutama menyumpit
binatang liar yang bergerak cepat.
Sekarang
Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia
mengajak Salampandai ke tempat sumpit itu. Benda itu masih ada di sana.

Karena
gembira, Salampandai mengundang Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia
ingin mengenalkan sahabat barunya kepada keluarganya. Bahkan, ia pun
ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkat. Walau ia sudah mempunyai
enam orang kakak.
Sejak
itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sangat
menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salampandai dan Ikot
Rinding-pun selalu bersama kemanapun mereka pergi.

Suatu
hari, "Jaga Si Bungsu baik-baik," pesan Raja pada Ikot Rinding dan
keenam putranya saat mereka akan pergi berburu. Ikot Rinding
mengangguk. Tapi enam saudara kandung Salampandai tak menjawab. Mereka
tidak menyukai Ikot Rinding. Mereka merasa Ratu dan Raja hanya
memperhatikan Si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat rencana
mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau Si Bungsu.
Setibanya
di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai mendapat tempat yang agak
mendaki. Dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak
Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun ketika keenam orang
itu sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia
tahu, keenam orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang
berbahaya.

"Berhenti! Jangan lewat gua itu!" teriak Ikot Rinding pada Si Bungsu.

Ikot
Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar
hewan-hewan itu sangat tajam. "Salampandai, tiarap!" teriak Ikot
Rinding saat melihat gumpalan-gumpalan hitam keluar dari mulut gua.
Tetapi terlambat. Si Bungsu kini dalam kepungan kelelawar.
Dengan
tangkas, Ikot Rinding mencabut mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu
persatu binatang gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar
yang bertubuh besar. Kali ini Ikot Rinding menggunakan sumpitnya.
"FUUHH!" Hanya dengan sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si
Bungsu pun selamat.

Keduanya
lalu pulang. Salampandai menceritakan peristiwa itu pada ayahnya. Raja
sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. Ia sangat
bahagia karena putra kesayangannya selamat.

"Mintalah apa saja yang kau inginkan," ujarnya pada Ikot Rinding. "Hari ini juga akan segera kupenuhi."

Pada
saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata adalah
Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikan Ikot Rinding. Meski agak
ragu, Ikot Rinding pun berkata,
"Aku memohon bukan untuk diriku. Untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia, dari nazar ibunya, Darahitam."

Jubata
ingat. Tujuh belas tahun lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan
bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar. Dan kini Ikot Rinding
meminta agar nazar itu dilepaskan. Jubata yang bijaksana mengerti.
Berbuat baik jauh lebih penting daripada memegang teguh sebuah sumpah.
"Permohonanmu kukabulkan," ujarnya.

"Apakah tandanya?" tanya Ikot Rinding.

Melihat
keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu keluar,
tangannya memegang setangkai anggrek hitam. Yang hanya tumbuh di
halaman istana Jubata.

"Inilah
tandanya," sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya pada Ikot
Rinding. "Begitu Domia menerima sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini
segera berubah warna. Itulah pertanda. Bahwa nazar ibunya telah
kulepaskan."

Usai
menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana.
Ia telah sangat rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa
rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia di kampung Tebelianmangkang.
Anggrek
hitam ia serahkan pada Domia. "Pejamkan matamu…" pinta Ikot Rinding.
Tanpa banyak bertanya, Domia menurut. "Nazar ibumu akan dilepaskan
Jubata. Sebagai tanda, anggrek hitam di genggamanmu akan berubah
warna."

Ketika
membuka kelopak matanya kembali, Domia melihat anggrek hitam telah
berubah warna. Jadi butih bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan.
Domia telah terlepas dari nazar.
Sepasang kekasih itu tak hentinya mengucap syukur pada Jubata. Dan keduanya hidup bahagia sampai masa tua mereka.



Mundur satu
halaman !

Mundur

Diambil dari Majalah Teman Bermain dan Belajar.